SUKU MENTAWAI DI SUMATERA BARAT ,
SUKU KUNO YANG AKAN HILANG DI INDONESIA
SUKU KUNO YANG AKAN HILANG DI INDONESIA
Secara turun temurun, suku Mentawai hidup sederhana di dalam sebuah Uma. Uma merupakan rumah yang terbuat dari kayu pohon. Arsitektur bangunan rumah Mentawai berbentuk panggung.
Di Mentawai, sebuah Uma biasanya dihuni oleh 5 hingga 7 kepala
keluarga dari keturunan yang sama. Satu diantaranya anggota yang tinggal
dalam sebuah rumah disebut Sikerei. Sikerei itulah yang oleh suku
Mentawai dianggap sebagai tetua. Uma menjadi pusat kehidupan bagi suku
Mentawai. Di dalam Uma itulah, suku Mentawai tinggal, menyelenggarakan
pertemuan dan melaksanakan berbagai macam acara adat, seperti penikahan.
Uma juga menjadi tempat untuk menyembuhkan anggota keluarga jika ada
yang sakit.
Kesederhanaan hidup suku Mentawai terlihat dari cara mereka berpakaian. Pada umumnya, pakaian suku Mentawai masih tradisional. Kaum lelaki Mentawai masih mengenakan Kabit yakni penutup bagian tubuh bawah yang hanya terbuat dari kulit kayu. Sementara bagian tubuh atas dibiarkan telanjang begitu saja tanpa mengenakan sehelai kain. Sikerei, tetua di Mentawai-pun masih mengenakan Kabit. Lain halnya dengan kaum wanita, untuk menutup tubuh bagian bawah, mereka menguntai pelepah daun pisang hingga berbentuk seperti rok. Sementara untuk tubuh bagian atas, mereka merajut daun rumbia hingga berbentuk seperti baju. Kalaupun ada suku Mentawai yang mengenakan kain sarung ataupun pakaian lengkap, jumlahnya hanya beberapa orang saja.
Kesederhanaan hidup suku Mentawai terlihat dari cara mereka berpakaian. Pada umumnya, pakaian suku Mentawai masih tradisional. Kaum lelaki Mentawai masih mengenakan Kabit yakni penutup bagian tubuh bawah yang hanya terbuat dari kulit kayu. Sementara bagian tubuh atas dibiarkan telanjang begitu saja tanpa mengenakan sehelai kain. Sikerei, tetua di Mentawai-pun masih mengenakan Kabit. Lain halnya dengan kaum wanita, untuk menutup tubuh bagian bawah, mereka menguntai pelepah daun pisang hingga berbentuk seperti rok. Sementara untuk tubuh bagian atas, mereka merajut daun rumbia hingga berbentuk seperti baju. Kalaupun ada suku Mentawai yang mengenakan kain sarung ataupun pakaian lengkap, jumlahnya hanya beberapa orang saja.
Suku Mentawai hidup terikat dengan aturan adat. Salah satu aturan
adat yang selalu mereka jalankan yakni Arat Sabulungan. Arat berarti
adat, sementara Sabulungan bermakna daun. Jika diartikan, Arat
Sabulungan mengatur kehidupan suku Mentawai untuk menghormati dan
menjaga daun. Berdasarkan ajaran leluhur Mentawai, daun diyakini sebagai
tempat bersemayamnya dewa hutan, dewa gunung, dewa laut, serta dewa
air.
Suku Mentawai juga meyakini daun menjadi penghubung antara Sang
Pencipta dengan manusia. Begitu kuatnya kepercayaan suku Mentawai
terhadap kekuatan daun, pantang bagi keturunan suku Mentawai untuk
merusak hutan. Mereka dilarang untuk menebang hutan sembarangan. Untuk
memasak, mereka hanya diperbolehkan mengambil ranting pohon yang telah
jatuh ke tanah. Jika melanggar, mereka akan mendapat sanksi adat. Bahkan
mereka percaya, jika merusak hutan, musibah dapat menghampiri kehidupan
masyarakat Mentawai.
Hutan menjadi tempat utama bagi kehidupan suku Mentawai. Mereka
mendirikan Uma atau rumah di dalam hutan. Di dalam hutan itu pula,
mereka mencari hewan buruan untuk dimakan. Monyet, babi hutan, serta
kelelawar menjadi sasaran rutin bagi suku Mentawai. Jika dibandingkan
dengan jenis hewan lainnya, suku Mentawai menganggap monyet sebagai
hasil buruan yang paling berharga.
Ketika ada warga berhasil mendapat buruan monyet, mereka jmemanggil
anggota keluarga serta kerabat lainnya untuk ikut menikmati monyet
tersebut. Membagi rata hasil buruan dan harus dihabiskan tanpa sisa
menjadi kewajiban bagi Suku Mentawai. Mereka percaya, jika ada hasil
buruan yang tidak dihabiskan ketika itu juga, malapetaka akan menimpa
seluruh keluarga. Jenis hewan yang pantang untuk diburu adalah anjing.
Mereka menganggap, membunuh dan memakan anjing merupakan sebuah
pelanggaran adat. Bagi mereka, anjing merupakan hewan kesayangan yang
hanya boleh untuk dipelihara bukan untuk dimakan.
Sejak dulu, suku Mentawai selalu menerapkan hidup menyatu dengan
alam. Merusak alam dan berburu secara liar diyakini dapat mendatangkan
bencana bagi kehidupan suku Mentawai. Untuk memenuhi kebutuhan hidup,
mereka tidak hanya bergantung pada berburu. Mereka mencukupi kebutuhan
makan dengan cara beternak babi dan ayam. Tak hanya itu, setiap kali
mereka menebang pohon sagu untuk diolah menjadi bahan makanan, suku
Mentawai menggantinya dengan menanam pohon sagu yang baru.
Jika suku Mentawai dapat hidup sederhana dan mencintai alam,
bagaimana dengan anda? Mengingat saat ini alam membutuhkan bantuan dari
tangan manusia, kebiasaan hidup suku Mentawai dapat dijadikan contoh.
Tertarik untuk melihat kehidupan suku Mentawai lebih dekat lagi,
kepulauan Mentawai di propinsi sumatera Barat dapat menjadi kunjungan
anda berikutnya.